Bupati Purworejo H Kelik Sumrahadi, S.Sos, MM, melakukan sujud syukur di tengah Jembatan sembir, (17/8) lalu. Hal tersebut dilakukannya usai meresmikan proyek pembangunan Jembatan Sembir senilai Rp 7 milliar. Jembatan yang terletak di atas Sungai Bogowonto itu, menghubungkan antara Desa Bugel (Kecamatan Bagelen) dengan Desa Purwodadi (Kecamatan Purwodadi), Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Hal tersebut dilakukannya, mengingat perjuangan masyarakat untuk mewujudkannya sudah sangat panjang dan melelahkan. Kurang lebih 60 tahun lalu pengusulan pembangunan jembatan ini diajukan, namun baru dapat terwujud di masa pemerintahannya.
Kepala Dinas Kimprasda Kabupaten Purworejo, Ir. Harijadi mengatakan, pembangunan Jembatan Sembir dilakukan dalam dua tahap, selama dua tahun. Pada tahap pertama dilakukan pembangunan bagian bawah jembatan, yang dikerjakan pada tahun 2007 lalu, menggunakan biaya dari APBD II sebesar Rp 2,6 milliar. Sedangkan pembangunan bagian atas jembatan baru dapat dilakukan tahun 2008 ini, melalui APBD II Tahun 2008 sebesar Rp 4,4 milliar.
“Jembatan ini memiliki panjang 87 meter dengan lebar 7 meter. Selain itu jalan penghubung mulai dari perempatan Purwodadi-Pasar Krendetan (Jalan Raya Letnan Kemis-red) kini kondisinya sudah mulus, dengan aspal HRS,” kata Harijadi.
Dengan dibangunnya Jembatan Sembir maka diharapkan ke depan akan semakin meningkatkan roda perekonomian kedua wilayah. Disamping itu juga dapat menjadi jalur alternatif Bagelen-Purwodadi-Ngombol-Grabag-Kutoarjo. Jembatan ini juga akan menjadi pintu gerbang dari arah barat, terkait dengan Kecamatan Bagelen dalam waktu dekat ini akan dicanangkan sebagai Kecamatan Agropolitan.
Banyak orang yang menginginkan pembangunan Jembatan Sembir, terbukti tak sedikit orang yang melepaskan nadzar pada saat peresmian jembatan dilakukan. Ada yang berkeinginan bersepeda onthel dari Kutoarjo dan mengambil finish di Jembatan Sembir. Ada lagi yang ingin membagi-bagikan dagangan nasi peneknya pada peresmian itu. Kemudian seorang masyarakat asal desa setempat juga melakukan ritual unik, yakni dengan jalan merangkak dan berkalungkan ketupat menyusuri panjangnya jembatan hanya untuk sekedar melepaskan nadzar. Kemudian masyarakat juga menyumbangkan pertunjukan kesenian, untuk menghibur masyarakat setempat. Maka usai peresmian digelar Tari Tradisional Dolalak dari grup Dolalak Putri Puspasari (Desa Bugel, Kecamatan Bagelen). Malamnya juga digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan menampilkan dalang lokal Ki Rusmadi, dengan mengambil lakon Rama Tambak.
Belanda Tak Mampu Wujudkan Jembatan Sembir
Menurut salah satu tokoh masyarakat Desa Bugel, Suharmaji (54), pihak yang pertama kali merencanakan pembangunan Jembatan Sembir adalah Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1948, sebelum Perang Kemerdekaan I pecah di Pulau Jawa. Adapun alasan utama dibangunnya Jembatan Sembir pada masa itu, tak luput dari tipu muslihat, untuk mempermudah Belanda masuk ke wilayah RI. Suharmaji mengatakan, waktu itu jembatan ngandul (jembatan penghubung jalur utama Purworejo-Yogyakarta sekarang-red), belum dibangun. Sehingga jalur utama Purworejo-Yogyakarta masih harus melingkar lebih jauh melalui Cangkrep. “Belanda dengan dalih pertahanan keamanan perbatasan bersama dan ekonomi berencana membangun Jembatan Sembir. Mengingat waktu itu Sungai Bogowonto menjadi garis batas antara TNI (di sebelah Timur Sungai Bogowonto/Kecamatan Bagelen sekarang-red) dan Belanda (di sebelah Barat Sungai Bogowonto/Kecamatan Purwodadi-red),” ujarnya.
Namun ketika itu pecah Perang Kemerdekaan I, yang menyebabkan rencana pembangunan Jembatan Sembir terbengkalai. Padahal menurut Suharmaji, beberapa material bangunan telah ditumpuk di sana. Karena tak terurus, akhirnya material tadi hilang dengan sendirinya dan rencana pembangunan Jembatan Sembir-pun gagal total. Bermula dari sinilah, membuat masyarakat terus berupaya untuk membangun Jembatan Sembir. Namun karena keterbatasan dana, upaya tersebut tak kunjung terlaksana. Barulah pada tahun 1950 aspirasi masyarakat tadi direspon oleh pemerintah daerah. Pemerintah akhirnya membangun tempat tersebut sebagai tempat penyeberangan, dengan menggunakan perahu.
Suharmaji lebih jauh bercerita, orang yang mengoperasikan perahu tadi diangkat menjadi PNS. Mereka diantaranya bernama Parjono, Toha Jiwo Sarjono, Abu Sujak dan Suharjo. Barulah pada tahun 1996 pengelolaannya diserahkan kepada desa setempat. Pernah juga ada investor dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang membangun jembatan kecil di sana dan dijuluki sebagai jembatan komersial. Pengelola jembatan tersebut diperbolehkan menarik uang kepada orang yang melewatinya dan setiap bulannya harus menyerahkan bagi hasilnya kepada desa sebesar Rp 100 ribu. Namun jembatan komersial tadi tidak bertahan lama, kurang lebih hanya 2 bulan, karena kontruksi bangunannya kurang kuat, sehingga mudah hanyut terbawa arus Sungai Bogowonto yang terkenal sangat deras itu.
Tuntutan masyarakat dalam mengusulkan pembangunan Jembatan Sembir tak hanya berhenti sampai di sini. Dengan tanpa mengenal lelah mereka terus berupaya untuk mewujudkannya. Bahkan beberapa tokoh masyarakat Desa Bugel beserta kepala desanya pernah menyampaikan secara langsung proposal pembangunan Jembatan Sembir ke Departemen PU pusat Jakarta. “Dahulu memang pernah dijanjikan oleh Bupati semasa dijabat oleh Drs. H Goernito, namun belum terealisasi karena masa jabatannya sudah berakhir. Pada masa pemerintahan H Marsaid, SH, MSi, pembangunan Jembatan Sembir dihapuskan dari draf skala prioritas. Namun di masa akhir jabatan Marsaid pernah menjanjikan akan membangun jembatan gantung di sana,” ujarnya. “Barulah pada masa pemerintahan H Kelik Sumrahadi, S.Sos, MM, Jembatan Sembir dapat terwujud. Saya menilai ini adalah karya besar dan monumental yang tak akan pernah dilupakan di masa pemerintahan siapa Jembatan Sembir itu dibangun,” imbuhnya. (Yul)